DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Kurikulum
Pendidikan Kejuruan
yang dibina oleh Bapak Dr. Dwi Agus Sudjimat, S.T.,
M.Pd
Oleh
Anggit Apriono Putra (160511609228)
Alfin
Dingarai Putra (160511609203)
Arfa
Dhiaulhaq Firdaus Al Rasyid (160511609275)
Andria
Eka Rihanjaya (170511623104)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK
MESIN
Oktober 2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kepada
Allah SWT atas karunia-nya, kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Kurikulum
Pendidikan Kejuruan berupa makalah yang berjudul “Desain Kurikulum
Pendidikan Kejuruan”.
Terima
kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu, baik secara langsung
maupun tidak langsung, terutama kepada dosen pembimbing matakuliah Kurikulum
Pendidikan Kejuruan yaitu Bapak Dwi Agus Sudjimat yang telah membimbing kami
dalam menyesuaikan makalah ini.
Dalam
penyusunan makalah ini tentu kami banyak menemukan hambatan, sehingga kami
merasa masih banyak kekurangan mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak terutama pembaca sangat kami harapkan demi
menyempurnakan makalah ini dan pembuatan makalah yang selanjutnya.
Malang, Oktober 2017
Penulis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Desain Kurikulum
Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau
model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model
kurikulum sesuai dengan visi dan misi sekolah masing-masing. Dapat dikatakan
bahwa, desain kurikulum merupakan sebuah proses pengaitan tujuan
Pendidikan dengan pemilihan dan pengorganusasian isi kurikulum.
Pengorganisasian materi pelajaran berkaitan erat dengan upaya mencapai tujuan
instruksional yang efektif dan efisien. Termasuk dalam pengaturan itu adalah
menyediakan sarana pembelajaran (teori dan praktek) dan dukungan administrasi.
Desain kurikulum tergolong menjadi
dalam dua dimensi organisasi, yakni horizontal dan vertikal berikut
penjelasannya:
1.
Pengorganisasian
pada horizontal berkaitan dengan pengaturan kesejajaran komponen-komponen (side-by-side ar-ragement), misalnya
dalam mengombinasikan materi pelajaran teori dengan praktikum laboratorium,
sedemikian rupa agar penjadwalan pelajaran teori untuk suatu topik dapat
dilaksanakan berurutan. Hal ini juga berkaitan dengan cakupan materi pelajaran sehingga
peserta didik memperoleh wawasan tentang aplikasi ilmu yang sedang
dipelajarinya.
2.
Pengorganisasian
pada arah vertikal berkaitan dengan pengaturan materi pelajaran secara
sekuensial dan kontinuitas pendalaman materi pelajaran, dari materi dasar secara
sekuensial menuju materi lanjutan sesuai struktur ilmu yang diajarakan. Hal ini
berkaitan dengan artikulasi materi pelajaran menurut tingkat-tingkat dalam
suatu jenjang Pendidikan atau antar jenjang Pendidikan.
2.2 Kategori Desain Kurikulum
Kategori
desain kurikulum dapat disusun sebagai modifikasi/kombinasi menjadi tiga
kategori yaitu:
2.2.1 Subject-Centered
Design
Subject-Centered
design merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan. Pilihan materi
pelajaran difokuskan pada penggunaan sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah
sebagai dasar pengorganisasian pada arah horizontal maupun vertikal. Dalam
kategori ini terdapat tiga macam desain, yakni:
A.
Desain dengan
Pendekatan Mata Pelajaran (The Subject
Centered Design)
Desain
kurikulum dengan pendekatan mata pelajaran menyajikan materi pelajaran yang
terdiri dari sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah dari beberapa disiplin
ilmu. Mata pelajaran diambil dari beberapa disiplin ilmu dengan maksud agar
para peserta didik menguasai dasar-dasar ilmu khusus yang kelak diharapkan
menjadi pilihan karir dan diperdalam melalui jenjang Pendidikan yang lebih
tinggi. Dengan demikian cakupan subject
design ditentukan oleh luasnya materi pelajaran dari tiap-tiap mata
pelajaran yang dipandang penting untuk diketahui oleh peserta didik secara
sekuensial.
Penambahan
mata pelajaran prakarya, berkebun, pengamatan fenomena-fenomena alam atau
penelitian di laboratorium akan meningkatkan pemahaman atas materi yang
diajarkan sekaligus untuk memantau bakat para peserta didik.
Terdapat
dua alasan penggunaan subject design .
Pertama, karena subject design dinilai memiliki pengorganisasian yang paling
sistematik dan efisien. Kedua, ditinjau dari sudut Pendidikan (guru maupun
dosen) mereka telah disiapkan untuk mengajar dalam bidang disiplin ilmu selama
di perguruan tinggi.
Di
samping kedua alasan tersebut, selain praktis yaitu buku teks dan materi
pelajaran pada uumumnya telah tersusun menurut jenis mata pelajarannya. Dengan
demikian peserta didik dapat mengetahui sekuens pelajarn dan dapat mempelajari
terlebih dahulu. Keuntungan praktis lainnya adalah kemudahan dalam
mengadministrasikan. Di samping keuntungan praktis terdapat pula beberapa
kelemahannya. Pertama, kecenderungan mengfragmentasikan materi pelajaran.
Kedua, terdapat kecenderungan pembelajaran tidak mengaitkan dengan aspek
penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, pembelajaran dengan metode
ekspositori atau ceramah cenderung menyebabkan peserta didik bersikap pasif dan
menghafal materi pelajaran, serta kurang melatih kebiasaan menalar. Keempat,
kurikulum memerhatikan minat dan pengalaman peserta didik. Kelima, kurikulum
lebih menekankan pada materi pelajaran dan kurang memerhatikan cara
penyampaiannya.
Dengan
kelemahan tersebut telah dapat diatasi dengan membekali para pendidik berbagai
kemampuan terutama dalam penyusunan Satuan Acara Pembelajaran (SAP). Dalam SAP,
guru mendapat kebebasan untuk mengadakan penyesuaian dengan perkembangan ilmu
dan menentukan sarana pembelajaran yang diperlukan. Karena pengorganisasian
kurikulum yang sistematik dan efisien itu, desain kurikulum dengan pendekatan
mata pelajaran maupun mata kuliah sampai saat ini masih digunakan pada
Pendidikan dasar, Pendidikan menengah, dan Pendidikan tinggi.
B.
Desain dengan
Pendekatan Disiplin Ilmu (The
Discipline-Centered Design)
Desain
kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu ini sama dengan desain kurikulum
dengan pendekatan mata pelajaran, tetapi dengan kriteria tujuan yang lebih
khusus, yakni aplikasi kejujuran.
Dengan demikian desain kurikulum dengan pendekatan disiplin ilmu dikembangkan
untuk Pendidikan kejuruan dan Pendidikan tinggi professional.
Pada desain kurikulum dengan
pendekatan disiplin ilmu lazim mengelompokkan mata pelajaran maupun mata kuliah
ke dalam kelompok mata pelajaran dasar
umum (MPDU/MKDU), mata pelajaran
dasar keahlian (MPDK/MKDK), dan mata
pelajaran keahlian (MPK/MKK). Menurut Taba,
mata pelajaran yang harus diberikan kepada semua peserta didik (tanpa
membedakan ragam kejuruan) : The term
‘core’ is used in several diffent ways. A large portion of curriculum patterns
which are designated this name represent nothing more than a method of
distin-guishing the portions of curriculum required of all students from those
which have specialized functions or are elective.” (Taba, 1976:407). Dengan
demikian MPUD dan MPDK dapat dinyatakan sebagai kurikulum inti.
Tujuan utama dari desain kurikulum
dengan pendekatan disiplin ilmu adalah: (a) Menyediakan pilihan yang sesuai
dengan bakat dan minat peserta didik setelah lulus dari Pendidikan dasar. (b)
Pembekalan kemampuan bekerja pada jalur kejuruan tertentu bagi mereka yang
ingin segera terjun ke dalam dunia kerja, namun memungkinkan pula melanjutkan
ke Pendidikan tinggi professional.
Desain kurikulum dengan pendekatan
disiplin ilmu menekankan pada pemahaman atas struktur dan logika disiplin ilmu
dan hubungan antara ilmu-ilmu dalam suatu disiplin ilmu, konsep-konsep,
kaidah-kaidah, dan penerapannya.
Keuntungan dari desain kurikulum
dengan pendekatan ilmu adalah, mendekatkan peserta didik kepada masalah-masalah
nyata dalam dunia kerja dan masyarakat. Dengan demikian terdapat dorongan untuk
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi dan sebagai dampaknya adalah
mendorong peserta didik untuk berupaya mengikutinya.
Kelemahan desain kurikulum dengan
pendekatan disiplin ilmu justru terletak pada guru. Tidak jarang guru (yang
pada umumnya berpenghasilan rendah) tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi karena keterbatasan finansial (untuk membeli komputer
atau buku referensi). Untuk mengatasi kesulitan ini, lembaga penyelenggaraan
Pendidikan hendaknya melengkapi fasilitas Pendidikan, baik perpustakaan maupun
sarana praktikum/praktik.
C.
Desain dengan
Cakupan Luas (Board Field Design)
Desain kurikulum dengan cakupan luas
merupakan salah satu upaya penyempurnaan desain dengan pendekatan mata
pelajaran dan pendekatan disiplin ilmu. Konsep ini dikembangkan dengan maksud
menghilangkan kelemahan-kelemahan pada subject
design dan discipline design yang
dianggap belum bisa menghilangkan pemisahan antar mata pelajaran maupun mata
kuliah. Dengan menyatukan beberapa mata pelajaran yang serumpun atau berdekatan
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap hubungan antar
berbagai fenomena kehidupan.
Konsep board field design yang semula dianggap dapat menghilangkan
kelemahan subject design dan discipline design ternyata hanya dapat
diterapkan pada tingkat sekolah dasar hal ini dimungkinkan karena pada tingkat
sekolah dasar kedalaman ilmu belum menjadi tuntutan utama. Pada tingkat
Pendidikan menengah dan Pendidikan tinggi dimana kedalaman ilmu menjadi
tuntutan utama, karena sulitnya mendapatkan tenaga kependidikan yang memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam.
2.2.2 Learner-Centered
Design
Learner-centered
design atau desain yang terpusat pada peserta didik adalah suatu pendekatan
desain kurikulum yang menempatkan peserta didik pada posisi sentral yang
dimaksud untuk mengembangkan bakat dan minat yang selaras pada peserta didik.
Pendidik hanya sebagai fasilitator dan motivator. Learner-centered design mengutamakan perkembangan individual sebab
itu tidak memiliki pola pengorganisasian yang baku.
Dua karakteristik yang membedakan Learner-centered design dengan subject-centered design adalah: pertama, pengembangan kurikulum
didasarkan pada keinginan peserta didik dan bukan berdasarkan materi
pembelajaran. Kedua, kurikulumnya
tidak dapat dirancang pada sebelumnya, tetapi harus disusun Bersama antara
peserta didik dan pendidik.
Diantara model-model yang pernah
dikembangkan adalah activity/experience
design, humanistic design dan child-centered
design. Sebagai pelengkap wawasan, hanya activity/experience design saja yang diuraikan dalam paragraph
berikut.
Konsekuensi dari activity/experience design ini sama
dengan board flied design yakni,
tidak memiliki pola organisasi kurikulum yang baku karena kurikulum harus
disusun berdasarkan minat dan kebutuhan peserta didik, baik secara individu
maupun kelompok.
Karakteristik lain dari activity/experience design adalah
penggunaan metode pemecahan masalah dalam pembelajaran. Dalam proses untuk
memenuhi minatnya, peserta didik akan menghadapi kesulitan atau hambatan yang
harus diatasi. Dalam menemukan solusi atau masalah yang dihadapi, peserta didik
menggunakan segala kemampuannya dan karenanya memperoleh pengalaman yang
menjadi nilai utama dari desain kurikulum berbasis kegiatan/pengalaman.
Terdapat tiga macam kekuatan utama activity/experience design. Pertama ,
karena kegiatan pembelajaran didasarkan pada minat dan kebutuhan peserta didik.
Kedua, kurikulum (activity/experience design) menghargai
perbedaan individual, setiap peserta didik bebas mengikuti aktivitas yang
selaras dengan minatnya. Ketiga, kegiatan
pemecahan masalah yang dikembangkan dalam activity/experience
design memberikan keterampilan proses yang diperlukan untuk menghadapi
masalah kehidupan diluar sekolah.
Di samping ketiga kekuatan yang
diuaraikan diatas, activity/experience
design juga memiliki kelemahan yaitu, Pertama,
kurikulum yang dikembangkan berdasarkan minat dan kebutuhan yang dirasakan
oleh peserta didik belum tentu sesuai dengan keperluan yang sebenarnya. Kedua, activity/experience design yang
didasarkam pada minat dan kebutuhan peserta didik tidak memiliki pola struktur
kurikulum yang baik. Ketiga, desain
kurikulum berbasis kegiatan/pengalaman lemah dalam penyusunan kontinuitas dan
sekuens materi pelajaran, dll. Kelemahan-kelemahan yang diuraikan diatas
menyebabkan desain kurikulum berbasis kegiatan/pengalaman menghilang dengan
sendirinya karena dampak Pendidikan yang tidak sejalan dengan system yang
berlaku.
2.2.3 Problem-Centered
Design
Problem-centered
design dikembangkan berdasarkan pemikiran filsafati tentang peran manusia
dalam masyarakat. Dengan Problem-centered
design dimaksudkan, desain yang difokuskan pada masalah-masalah kehidupan
social. Dalam hubungan ini manusia sebagai makhluk social akan selalu hidup
Bersama dan memecahkan masalah social secara Bersama-sama. Desain kurikulum
berbasis masalah yang pernah dikembangkan adalah deasin berbasis bidang
kehidupan (areas of living) dan
desain berbasis kurikulum inti (core
curriculum design).
A.
Desain Berbasis
Bidang Kehidupan
Stratemeyer
dkk.
(1957: 155-165) mengembangkan kurikulum berbasis bidang kehidupan dengan
sebutan “persistent life situation
curriculum.” Kurikulum ini mengangkat masalah-masalah berdasarkan situasi
kehidupan yang harus dihadapi dengan keteguhan hati yang terbagi dalam tiga
kategori: (a) situasi yang menurut pengembangan kemampuan pribadi. (b) situasi
yang menuntut partisipasi dalam masyarakat. (c) situasi yang menuntut
pengembangan kesanggupan untuk berinteraksi dengan factor-faktor lingkungan
hidup.
Gambaran yang menonjol dari
kurikulum berbasis masalah kehidupan adalah: Pertama, desain berbasis aktivitas/pengalaman, desain ini
memfokuskan pada prosedur pemecahan masalah. Kedua, desain ini memanfaatkan pengalaman peserta didik dan situasi
saat belajar sebagai gerbang memasuki areas of living. Sedangkan pada desain
berbasis bidang kehidupan menggunakan kepedulian peserta didik sebagai strategi
awal memasuki proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran itu: (1) materi
pelajaran disajikan secara terintegrasi. (2) karena materi pelajaran disusun
sesuai dengan masalah kehidupan individual dalam masyarakatnya. (3) desain ini
menyajikan materi pelajaran yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi.
Desain kurikulum berbasis bidang
kehidupan ini juga tidak terbebas dari berbagai kritikan. Pertama,masalah yang berkaitan dengan penentuan cakupan dan urutan
mengingat bidang kehidupan sangat luas dan bervariasi kedalamannya. Kedua, materi pembelajaran cenderung
hanya dikaitkan dengan masalah masa kini dan kurang memerhatikan warisan
budaya. Ketiga, unit-unit pelajaran
dikemas di sekitar masalah kehidupan yang beragam dan terpisah sehingga
cenderung mengabaikan factor integritasi.
B.
Desain Kurikulum
Inti (core curriculum)
Konsep
kurikulum inti dikembangkan sebagai
reaksi terhadap separate subject design
yang cenderung melaksanakan pembelajaran dengan jalan memecah-mecah mata
pelajaran. Pembelajaran akan efektif apabila fakta dan prinsip dari satu
disiplin ilmu dihubungkan satu dengan lainnya.
Aliran progresif menyarankan, dengan
asumsi suatu kurikulum harus mendukung perkembangan individu menjadi anggota
masyarakat yang demokratis. Dengan perjalanan waktu, istilah kajian inti atau core
studies disebut juga sebagai “common
studies”, “unified studies”, “basic education”, dan “block-time classes”.
Kurikulum
inti diartikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah yang perlu diberikan
kepada semua peserta didik. Terdapat beberapa ragam desain kurikulum inti,
yakni: (1) the separate subject core, (2)
the correlated, (3) the fused core, (4) the activity/experience core, (5) the areas-of-living core, dan (6) the social problems core. Yang berarti:
1.
The Separate
Subject Core terdiri
dari serangkaian mata pelajaran/mata kuliah yang diajarkan secara terpisah oleh
spesialis dari mata pelajaran/mata kuliah tanpa mengintegrasikan materinya,
suatu manifestasi dari karakteristik, kekuatan dan kelemahan dari separate
subject curriculum.
2.
The Correlated
Core dikembangkan
dari konsep subject-centered design yang
menekankan koherensi hubungan antardua atau lebih mata pelajaran/mata kuliah
yang termasuk dalam kurikulum inti.
3.
The Fused Core berakar pada konsep subject-centered curriculum design. Materi pelajaran disusun dalam
bentuk terintegritas penuh. Dengan demikian peserta didik menguasai materi secara
utuh.
4.
The
Activity/Experience Core dikembangkan berdasarkan konsep learned-centered design yang dipusatkan pada minat dan kebutuhan
peserta didik. Karena sifatnya yang tak terstruktur, Activity/Experience Core Curriculum
kurang diminati.
5.
The
Areas-of-living Core diterapkan
oleh Pendidikan progresif yang mengedepankan masalah-masalah kehidupan
masyarakat. Pola desain ini dipandang sebagai core design yang paling murni (sesuai gagasan J. F. Herbert) dan cocok untuk Pendidikan umum.
6.
The Social
Problems Core sama
halnya dengan the areas-of-living core
model ini pun merupakan produk dari gerakan Pendidikan progresif. Sementara the social problems core menitikberatkan
pada masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
Keenam bentuk kurikulum diatas,
dewasa ini tidak lagi dipakai dalam Pendidikan formal, namun dapat digunakan
sebagai pola penyelenggaraan lokakarya
ilmiah atau penataran dengan
waktu yang relatif singkat.
2.3 Desain Alternatif Kurikulum
Disamping
model-model desain kurikulum diatas pada pembahasan ini akan dibahas secara
singkat desain alternatif yakni: desain
kurikulum humanistic (humanistic design) yang turut melandasi Pendidikan
dan pelatihan berbasis kempetensi (PPBK). Desain kurikulum humanistic
dikembangkan dengan mengutamakan peran siswa mengaktualisasikan dirinya. Para
pakar humanistic percaya bahwa, siswa memiliki potensi, kesanggupan dan
kekuatan untuk berkembang sendiri.
Menurut N. S. Sukmadinata (1988: 92-93) “subjek
yang menjadi pusat kegiatan….pendidikan merupakan sutu upaya menciptakan
situasi yang permisif, rileks, akrab, dan berkat situasi tersebut anak
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.” Pendidikan humanistic
memungkinkan peserta didik mengaktualisasikan diri dengan mengembangkan bakat
dan integritas pribadi yang dimiliki secara bebas. Tujuan Pendidikan humanistic
adalah “self-reliance man in an
integrated community” (R. Zais, 1976: 434), dihasilkannya pribadi yang
mandiri dan berintegritas dalam masyarakat.
2.4 Permasalahan Desain Kurikulum
Terdapat lima
permasalahan kritis yang sering timbul dalam desain kurikulum, yakni:
2.4.1 Desain untuk Pendidikan Umum atau Spesialisasi
Awal dari
pengembangan kurikulum ditinjau dari aspek desain kurikulum pada Pendidikan
umum atau spesialisasi (kejuruan), jenis Pendidikan kedua tersebut tidak
seluruhnya berbeda. Namun untuk memperjelas, pembelajaran ilmu-ilmu dan
pelatihan keterampilan penting guna memperdalam landasan dan wawasan ilmiah.
Kegiatan pembelajaran, cakupan (scope) dan sekuens dapat dikembangkan dari
prosedur yang dibakukan. Sedangkan Pendidikan umum sama dapat dikembangkan
berdasarkan penalaran logico-empiricial.
2.4.2 Hubungan Antar Komponen-komponen Kurikulum
Masalah lain
dalam desain kurikulum ialah Pembinaan hubungan antarkomponen-komponen
kurikulum (tujuan, materi, kegiatan pembelajaran dan evaluasi). Masalah pertama adalah bagaimana menciptakan korespondensi antara Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan
Institusional dan Tujuan
Instruksional yang harus dicantumkan dalam kurikulum. Diperlukan mekanisme
untuk memantau keselarasan pencapaian tujuan tersebut sehingga apabila terdapat
diskripansi dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Kedua, hal yang lebih sulit dalam pembinaan adalah hubungan yang
jelas antara komponen-komponen tujuan kurikulum, materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran dan evaluasi. Dengan demikian diperlukan suatu metode evaluasi
yang lebih komperehensif dari pada sekedar mengadakan ujian tertulis.
2.4.3 Masalah Cakupan dan Sekuens
Masalah kritis
ketiga adalah berkaitan dengan cakupan
dan sekuensi. Masalah ini berkaitan dengan masalah pembinaan hubungan
antara pengorganisasian pada horizontal (cakupan) dan pada arah vertikal
(sekuens). Cakupan (scope) berkaitan dengan pengaturan penyampaian pelajaran
pada waktu dan tingkatan yang sama, sementara sekuens berkaitan dengan laju
pergerakan setiap mata pelajaran/mata kuliah dari tingkat yang rendah menuju
tingkat yang tinggi, dari materi yang mudah menuju materi yang lebih sulit.
Masalah yang berkaitan dengan
cakupan dan sekuens tidak berlaku, pada satu mata pelajaran/mata kuliah saja,
tetapi harus pula dipikirkan keserasian perkembangan antar mata pelajaran/mata
kuliah lainnya.
2.4.4 Pusat Pengorganisasian Kurikulum
Menurut Goodlad (1963: 25-50) menyarankan dua
macam konsep pengorganisasian kurikulum yakni, pusat pengorganisasian (organizing center) dan unsur pengorganisasian (organizing element). Dapat didefinisikan
pusat pengorganisasian berkaitan dengan pemilihan model-model desain kurikulum.
Sementara unsur-unsur perorganisasian berkaitan dengan konsep yang akan menjadi
focus pembahasan dan penguasaan dalam proses pembelajaran. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa, unsur-unsur pengorganisasian mengendalikan sekuens
pada arah vertikal, sementara pusat pengorganisasian merinci materi
pembelajaran, prosedur dan lain-lain pada setiap tingkatan kurikulum.
2.4.5 Keseimbangan
Keseimbangan (balance) berarti pemberian bobot yang
tepat untuk setiap komponen kurikulum sedemikian sehingga tidak terjadi masalah
ketidakseimbangan di kemudian hari, yang diketahui setelah berlangsungnya
evaluasi tingkat nasional. Masalah keseimbangan dapat dipengaruhi oleh desain
kurikulum. Perbedaan penekanan kemungkinan sebagai akibat pandangan
pembelajaran yang mengarah pada penguasaan isi atau materi pelajaran yang
cenderung mengarah pada proses pembelajaran.sedangkan sejak berkembangnya
konsep Pendidikan dan pelatihan di amerika serikat, penekanan cenderung pada
tujuan dan evaluasi, sementara isi dan proses menyesuaikan pada standart
kompetensi yang menjadi acuan penyusunan kurikulum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ragam desain kurikulum yang mencakup
subject-centered design, learner-centered
design, dan problem-centered design. Diantara
ketiga desain tersebut, subject-centered
design merupakan desain kurikulum yang tertua dan paling banyak digunakan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu
Pendidikan dan kondisi masyarakat, desain kurikulum yang mengacu pada learner-centered design terpusat pada
peserta didik adalah suatu pendekatan desain kurikulum yang menempatkan peserta
didik pada posisi sentral.
problem-centered
design dikembangkan berdasarkan pemikiran filsafati tentang peran manusia
dalam masyarakat. Dengan problem-centered
design desain yang difokuskan pada masalah-masalah kehidupan social. Dalam
hubungan ini manusia sebagai makhluk social akan selalu hidup Bersama dan
memecahkan masalah social secara Bersama-sama pula.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Goodlad, john I.
(1963). Toward Improve Curriculum
Organization. In planning and Organizing for Teaching. Washington D.C.:
National Education Association.
Harris, R. et
al. (1995). Competency-Based Education
and Training. South Yarra 3141: MacMilan Education Australia, Pty, Ltd.
Krist, M. W.,
Walker, D.F. (1971). An Analysis of
Curriculum Policy-Making. Review of
Educational Research, December.
Smith, B.O. et
al. (1957). New York: Fundamentals of
Curriculum Development, Harcourt Brace Jovanovich.
contoh MAKALAH DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN
Reviewed by Arfa
on
April 10, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: